MI Murni melakukan safari religi ramadhan ke para makam auliya'
yang di Kab. Lamongan (13/06/17). Kegiatan safari religi tersebut merupakan
salah satu kegiatan dari proker keagamaan dari panitia ramadhan yang
dilaksanakan secara rutin setiap 1 tahun sekali. Kegiatan ini diikuti oleh siswa
MI Murni Sunan Drajat Lamongan sejumlah 323 siswa, yang terdiri dari
kelas 3 dan 4.
Kegiatan yang berwarna siraman
rohani ini memiliki tujuan untuk mempererat tali persaudaraan serta
kekeluargaan, dan juga dengan harapan mendapat safaat dari wali-wali Allah SWT.
Dan juga memperkenalkan situs-situs sejarah islam yang ada di Kab. Lamongan
khususnya. Selain itu juga menjelaskan tentang perjuangan-perjuangan Mbah
Lamong dan Mbah Sabilan tentang perjuangan beliau membawa keimanan di Lamongan.
Sejarah
Mbah Lamong
Pada zaman Raja Majapahit Raden
Wijaya, Lamongan sudah menjadi daerah strategis. Dalam naskah riwayat hari jadi
Lamongan, dijelaskan bahwa sudah terdapat jalan purbakala yang menghubungkan
pusat kerajaan di Trowulan dengan Kambang Putih (pelabuhan Tuban) yang berada
di pesisir utara. Diduga jalan purbakala tersebut mulai dari Desa Pamotan yang
berada di selatan, Garung, Kadungwangi, Sumbersari, Pasarlegi, Ngimbang,
Bluluk, Modo, Dradah terus ke utara hingga Gunung Pegat dan berakhir di utara
tepatnya di Desa Pucakwangi di Babat. Pada zamannya, jalan purbakala ini ramai
dilalui para saudagar, punggawa praja, prajurit hingga rakyat jelata.
Kondisi ini berpengaruh terhadap
majunya perkembangan masyarakat di wilayah Lamongan bagian barat ketimbang
warga yang hidup di Lamongan bagian timur. Kehidupan teratur masyarakat ini
dapat dibuktikan dengan ditemukan banyaknya batu prasasti dan petilasan kuno di
sepanjang jalan purbakala ini. Terbentuknya Lamongan sebagai kabupaten tidak
lepas dari santri kesayangan Sunan Giri II bernama Hadi, pemuda asal Desa
Cancing, Ngimbang, Lamongan. Karena kecakapan ilmu agama yang dimiliki, Hadi
ini lantas dipercaya untuk menyebarkan ajaran Islam ke barat Kasunanan Giri.
Berbeda dengan delapan wali lainnya, Sunan Giri dan Kasunanan Giri memiliki sistem monarki, sehingga putra dan keturunan Giri bisa menggunakan gelar Sunan Giri. Dengan perbekalan, pengawalan dan seorang pembantu, Hadi berangkat melaksanakan perintah Sunan Dalem menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan. Rombongan penyebar agama Islam ini berangkat menyusuri Kali Lamong dengan naik perahu.
Berbeda dengan delapan wali lainnya, Sunan Giri dan Kasunanan Giri memiliki sistem monarki, sehingga putra dan keturunan Giri bisa menggunakan gelar Sunan Giri. Dengan perbekalan, pengawalan dan seorang pembantu, Hadi berangkat melaksanakan perintah Sunan Dalem menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan. Rombongan penyebar agama Islam ini berangkat menyusuri Kali Lamong dengan naik perahu.
Perahu yang dinaiki Hadi
akhirnya membawanya di sebuah tempat bernama Dukuh Srampoh, Pamotan, sebuah
tempat yang berlokasi tidak jauh dari jalan purbakala Majapahit. Rombongan
syiar Islam ini lantas melanjutkan perjalanan darat hingga sampai di
Puncakwangi, yang sekarang masuk dalam desa di wilayah Babat. Karena lokasi
tersebut dianggap sesuai dengan pesan Sunan Giri, akhirnya Hadi mengabarkan
bahwa dirinya sudah berada di tempat 'kali gunting' atau kali yang bercabang
dua. Bertemunya hulu sungai-sungai kecil dari Desa Bluluk dan Modo yang
mengalir ke hilir kali besar yang sekarang bernama Bengawan Solo. Kedatangan
Islam di daerah ini diterima cukup baik oleh masyarakat. Perkampungan Islam
yang dibangun Hadi lambat laun berkembang cukup pesat. Namun di kemudian hari
baru diketahui bahwa lokasi ini bukannya tempat dakwah yang dimaksud Sunan Giri
II. Seiring berkembangnya waktu, perjalanan syiar Islam Hadi berlanjut hingga
Sunan Giri III. Karena keberhasilan sebelumnya dalam berdakwah, Hadi mendapat
pangkat Rangga yang berarti pejabat.
Keberhasilan dan cara dakwah
Rangga Hadi dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Lamongan, membuatnya
dicintai masyarakat. Kemudian warga menyematkan julukan Mbah Lamong lantaran
sifat mengasuh dan melayani masyarakat yang benar-benar membekas. Dalam
perkembangannya, wilayah Lamongan menjadi incaran penjajah Portugis yang ingin
menguasai pantai utara dan menjajah pulau Jawa. Kemudian Sunan Giri memandang
wilayah Lamongan sebagai lokasi strategis namun rawan karena dilalui oleh
Bengawan Solo yang mampu dilayari kapal pedagang maupun kapal perang penjajah.
Dengan pertimbangan matang,
akhirnya Sunan Giri IV (Sunan Prapen) mengumumkan wilayah kerangga Lamongan
ditingkatkan menjadi kadipaten pada tanggal 26 Mei 1569, Rangga Hadi lantas
diwisuda menjadi adipati Lamongan pertama yang diberi gelar Tumenggung
Surajaya. Rangga Hadi sendiri wafat tahun 1607. Pusara Rangga Hadi berada di
sebelah utara Musala Mbah Lamong yang berada di tengah permukiman penduduk.
Terdapat jalan penghubung antara musala dengan makam Rangga Hadi yang berada di
bangunan terkunci. Sementara itu di kompleks luarnya juga terdapat sejumlah
makam tanpa tulisan di nisan.
Lokasi musala berada di pojok
persimpangan antara Gang Kali Lamong dan Gang Kali Wungu, Kelurahan
Tumenggungan, Kecamatan Lamongan, Lamongan, Jawa Timur. Menurut penuturan salah
satu warga sekitar, Kayah, makam Mbah Lamong hanya akan dibuka di waktu-waktu
tertentu, termasuk saat hari jadi Kota Lamongan yang tanggal penetapannya mengacu
pada wisuda Rangga Hadi. "Memang kalau ramai-ramai ya saat hari ulang
tahun Lamongan, Bupati sama pejabat-pejabat suka ke sini," terangnya saat
berbincang dengan merdeka.com baru-baru ini. Hal ini juga dibenarkan oleh
Chambali, perangkat desa Kelurahan Tumenggungan yang ditemui merdeka.com
terpisah. Menurutnya selain di hari ulang tahun Lamongan, makam Mbah Lamong
juga akan dibuka saat malam Jumat.
"Biasanya Mbah Mirsad (juru
kunci) ikut membantu peziarah mengantarkan doa untuk Mbah Lamong," terang
Chambali saat ditemui di kantor kelurahan. Makam Mbah Lamong ini memang masuk
dalam situs sejarah yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Lamongan. Perawatan dilakukan secara berkala dari tahun ke tahun. "Salah
satu (situs yang dirawat) makam Tumenggung Surajaya, bupati Lamongan pertama.
Dia disebut Mbah Lamong. Ini di zaman Sunan Giri, santrinya. Dia dari daerah
Ngimbang, nyantri di Gresik. Setelah lulus dia menyebarkan ajaran Islam di
barat, Lamongan," terang Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota
Lamongan Rudi Gumilar. [hhw]