Lamongan, Era kekinian rentan terjadi pergeseran yang mengatas namakan agama, arus teknologi informasi menjadi proses pemahaman keagamaan makin mudah. Diataranya gagasan keagamaan, nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Nilai-nilai tersebut terejawentahkan berbagai barisan pawai taaruf yang diselenggarakan oleh beberapa instansi di kabupaten Lamongan.
Rabu (20/09/17) Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1439 H. MI Murni Sunan Drajat Lamongan berlangsung dengan sangat meriah. Sekitar tujuh puluh lima siswa yang tergabung dalam barisan pawai turut serta dalam meramaikan detik-detik malam pergantian tahun baru hijriyah.
Rabu (20/09/17) Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1439 H. MI Murni Sunan Drajat Lamongan berlangsung dengan sangat meriah. Sekitar tujuh puluh lima siswa yang tergabung dalam barisan pawai turut serta dalam meramaikan detik-detik malam pergantian tahun baru hijriyah.
Tema yang
diangkat pada pawai tahun ini adalah “Perjuangan Sunan Sendang Duwur dan
Pengikutnnya”
Dan
berikut adalah sejarah singkat dari Sunan Sendang Duwur.
Sunan Sendang Duwur bernama
asli Raden Noer Rahmad adalah putra Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid
yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan
wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di
dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat
disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Bangunan Makam Sunan Sendang Duwur yang
dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut berarsitektur tinggi yang
menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan Hindu. Bangunan gapura
bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian dalam berbentuk Paduraksa.
Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi ukiran kayu jati yang
bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu hitam berbentuk kepala
Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya
di atas bukit itu, terdapat di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran.
SEJARAH penyebaran agama Islam di Pulau
Jawa tidak bisa dipisahkan dari sejarah Sunan Sendang Duwur. Bukti peninggalan,
makam dan masjid kuno, memberi jawaban bagaimana kiprah sunan yang makamnya
terletak di Desa Sendang Duwur, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, itu.
Data dari berbagai sumber menyebutkan,
masjid kuno itu menyimpan sejarah yang berbeda dengan pembangunan masjid
lainnya. Sebab, tempat ibadah umat Islam ini tidak dibangun secara bertahap
oleh Sunan Sendang Duwur, melainkan melalui suatu kemukjizatan.
Ada yang mengatakan Sunan Sendang Duwur
sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik), salah satu murid Sunan Drajad.
Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur adalah putra Abdul Qohar tapi tidak
berguru pada Sunan Drajad. Namun dari perbedaan itu, disepakati bahwa Raden
Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer
berharap bisa mendirikan masjid di Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai
kayu, Sunan Drajad menyampaikan masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang
mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau Retno Kencono di Mantingan, Jepara,
yang saat itu mempunyai masjid.
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan
Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan
Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat
menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga
dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai
saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan
Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa
kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan
menjual masjid ini. Tapi almarhum suamiku berpesan, siapa saja yang bisa memboyong
masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu
malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan,
Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana
yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak
lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa
Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya
sengkala yang berbunyi: “gunaning seliro tirti hayu” yang berarti menunjukkan
angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid
tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang
Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam.
Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung
Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Rombongan dari Mantingan itu disambut
Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum meneruskan
perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta istirahat
karena lelah sehabis menunaikan tugas berat.
Saat istirahat, sunan menjamu rombongan
dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta legen, minuman
khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun di Tanjung Kodok
(sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
Ajaran Relevan
Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur
terus melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada
zaman sekarang adalah : “mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak
burimu” (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di
belakangmu. Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di
jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan
Sendang Duwur sangat erat dalam siar agama Islam, dan hubungan itu terus
mengalir sampai kini. Terlihat, tidak jarang para peziarah ke makam Sunan
Drajad di Desa Drajad, Kec. Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.
Masjid itu kini sudah berusia 477 tahun
(didirikan R. Thoyib di Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa
konstruksi kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi
makam, di sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur
masjid peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada
zamannya.
Bangunan yang menunjukkan Hinduistis
masih tampak di masjid dan makam menunjukkan bahwa dalam mensyiarkan agama
Islam Sunan Sendang Duwur menerapkan Islam Rahmatan Lil Alamin
dalam istilah kejawen kita kenal dengan istilah “kenek iwak e gak butek
banyune”. Meski halaman dan makam menyatu, masjid ini mempunyai halaman
sendiri-sendiri.
Begitulah
sejarah singkat perjuangan Sunan Sendang Duwur dalam menyebarkan agama Islam di
tanah Jawa khususnya di kota Lamongan tercinta. sumber :http://mahbubarrjunna12.blogspot.co.id/2014/12/